Langsung ke konten utama

Postingan

Papan Bunga, Juru Bicara Kelas Sosial

Setiap pagi, di depan gedung tempatku bekerja, selalu ada papan bunga baru yang berdiri tegak. Warnanya mencolok, huruf-hurufnya besar, dan setiap pita di ujungnya seperti ingin berteriak: “Lihat, aku juga bagian dari perayaan ini.” Mula-mula, aku hanya melihatnya sebagai hiasan. Lambang ucapan selamat atau duka cita. Tapi semakin lama, aku sadar — papan bunga bukan sekadar papan bunga. Ia adalah bentuk lain dari pengakuan kelas. Di sini, papan bunga menjadi ukuran yang aneh tapi nyata. Semakin besar, semakin ramai, semakin panjang deretnya di lobi — semakin tinggi pula posisi orang yang dirayakan. Lucunya, papan bunga bukan hanya membawa pesan, tapi juga perbandingan diam-diam. Antara siapa yang cukup mampu mengirim, dan siapa yang cukup penting untuk menerimanya. Bahkan dalam perayaan atau kematian pun, hierarki tetap berjalan — hanya berganti wujud jadi warna, ukuran, dan karangan bunga. Aku sering berpikir, mungkin hanya di tempat seperti ini bunga bisa tumbuh dari gengsi. Bukan da...
Baca selengkapnya: Papan Bunga, Juru Bicara Kelas Sosial

Bagaimanapun, Wewangian Tercipta Dari Keringat Seseorang

Bekerja di tempat yang cukup mewah membuatku sadar, bahwa keindahan sering kali lahir dari tangan-tangan yang tak pernah diajak menikmatinya. Bukan karena dunia ini kejam, tapi karena begitulah caranya dunia berjalan: yang terlihat berkelas di atas, berdiri di atas kerja sunyi yang tak pernah terlihat di bawah. Setiap pagi, sebelum ruangan terisi suara manusia, seseorang datang lebih dulu. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, menata bunga, lalu menggosok lantai hingga mengilap — sampai sidik jarinya seolah hilang. Ia tidak banyak bicara. Bagi dirinya, hasil yang tampak bersih sudah cukup jadi tanda bahwa hari itu berjalan sebagaimana mestinya. Setiap lantai yang berkilau, setiap bunga segar di lobi, setiap suara tawa tamu penting — semua itu mungkin lahir dari tangan seseorang yang tidak pernah diundang masuk ke ruangan itu. Mereka yang hanya bisa memandang dari jauh, memastikan semuanya sempurna agar dunia percaya bahwa tempat ini memang seindah itu. Keindahan yang tampak alami, padaha...
Baca selengkapnya: Bagaimanapun, Wewangian Tercipta Dari Keringat Seseorang

Aku Tidak Bisa Hidup Dengan Hanya Melakukan Hal Yang Aku Sukai

Aku tidak bisa hidup dengan hanya melakukan hal yang aku sukai. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di dalamnya ada kelelahan yang halus, ada penerimaan yang perlahan tumbuh. Mungkin di titik tertentu, manusia akan sadar bahwa hidup bukan tentang menyenangkan diri sendiri. Hidup, bagaimanapun juga, selalu bersinggungan dengan orang lain. Dan dari sanalah kita mulai kehilangan sedikit demi sedikit bagian dari diri kita yang dulu begitu kita jaga. Sifat alami manusia memang aneh. Kita cenderung meninggalkan apa yang kita sukai demi orang-orang yang kita sayangi bisa melakukan apa yang mereka sukai. Kita rela. Kita bekerja keras, menelan kebosanan, bangun pagi-pagi sekali, berlari melawan waktu dan rasa lelah, hanya agar seseorang di rumah bisa tertawa lega. Kita menukar kesenangan pribadi dengan ketenangan orang lain, dan anehnya—kita menyebut itu cinta. Kadang aku bertanya, apakah manusia memang diciptakan untuk seperti ini? Untuk terus menekan diri sendiri, mengorbankan kebebasan, da...
Baca selengkapnya: Aku Tidak Bisa Hidup Dengan Hanya Melakukan Hal Yang Aku Sukai

Kamu Harus Jadi Orang Pertama Yang Menilai Dirimu Berharga

Pada prinsipnya, aku sudah melakukan apa yang mampu aku lakukan. Menjadi seseorang yang bernilai, ternyata bukan lagi tentang seberapa banyak orang memahami nilai itu sendiri. Orang-orang punya kacamata masing-masing. Nilai seseorang pun seringkali dilihat dari kemampuannya menilai nilai orang lain — bahkan yang tersembunyi sekali pun. Tidak dihargai adalah hal paling mustahil dalam kehidupan. Bukan karena seseorang tidak punya harga, melainkan karena nilai hanya tampak bagi mereka yang tahu cara melihatnya. Emas hanyalah bongkahan benda asing bagi yang tak mengenalnya. Permata hanya batu mengkilap, tak lebih dari itu. Pernahkah kita benar-benar menilai diri sendiri? Bukankah sebagian dari kita lebih sering mencaci daripada memuji diri sendiri? Kita merasa rendah, bahkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya bisa kita hargai. Setidak bernilainya kah pandangan kita terhadap diri sendiri? Mengapa cermin selalu menjadi ruang penghakiman? Kamu, aku, kita — tidak lebih rendah dari apa yang...
Baca selengkapnya: Kamu Harus Jadi Orang Pertama Yang Menilai Dirimu Berharga

Yang Tenang Tidak Laku Di Dunia Yang Bising

Ada masa di hidupku ketika aku percaya, bahwa kebaikan akan membawa seseorang pada cinta, atau setidaknya, pada penerimaan. Tapi ternyata aku salah. Dunia tidak berputar untuk orang baik. Dunia berputar untuk mereka yang pandai memainkan peran, yang tahu kapan harus tersenyum, dan kapan harus meninggalkan tanpa rasa bersalah. Aku melihatnya sendiri. Orang yang menipu dipeluk, yang kasar dirindukan, yang pura-pura peduli justru disayang. Sementara mereka yang benar-benar tulus, perlahan hilang di antara tawa orang lain. Tidak dibenci, hanya tidak dianggap. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada dibenci. Orang baik terlalu mudah dimaklumi, terlalu cepat dimaafkan, terlalu bisa mengerti. Hingga akhirnya tidak ada yang benar-benar peduli pada mereka. Dunia tahu, mereka tidak akan membalas. Dunia tahu, mereka akan tetap tersenyum meski hati mereka remuk pelan-pelan di balik wajah yang sama. Lucu, ya? Di zaman ini, kelembutan dianggap kekalahan. Kejujuran dianggap naif. Ketulusan dianggap l...
Baca selengkapnya: Yang Tenang Tidak Laku Di Dunia Yang Bising