Setiap pagi, di depan gedung tempatku bekerja, selalu ada papan bunga baru yang berdiri tegak. Warnanya mencolok, huruf-hurufnya besar, dan setiap pita di ujungnya seperti ingin berteriak: “Lihat, aku juga bagian dari perayaan ini.” Mula-mula, aku hanya melihatnya sebagai hiasan. Lambang ucapan selamat atau duka cita. Tapi semakin lama, aku sadar — papan bunga bukan sekadar papan bunga. Ia adalah bentuk lain dari pengakuan kelas. Di sini, papan bunga menjadi ukuran yang aneh tapi nyata. Semakin besar, semakin ramai, semakin panjang deretnya di lobi — semakin tinggi pula posisi orang yang dirayakan. Lucunya, papan bunga bukan hanya membawa pesan, tapi juga perbandingan diam-diam. Antara siapa yang cukup mampu mengirim, dan siapa yang cukup penting untuk menerimanya. Bahkan dalam perayaan atau kematian pun, hierarki tetap berjalan — hanya berganti wujud jadi warna, ukuran, dan karangan bunga. Aku sering berpikir, mungkin hanya di tempat seperti ini bunga bisa tumbuh dari gengsi. Bukan da...