Setiap pagi, di depan gedung tempatku bekerja, sering kali papan bunga baru berdiri tegak.
Warnanya mencolok, hurufnya besar, dan setiap pita seolah berteriak:
“Lihat, aku bagian dari perayaan ini.”
Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai hiasan.
Lambang ucapan selamat atau duka.
Namun semakin lama, aku sadar papan bunga bukan sekadar papan bunga.
Di dalamnya ada simbolisme yang lebih dari sekadar bunga dan pita.
Ia adalah pengukuran kelas yang aneh, tapi nyata.
Semakin besar, semakin ramai, semakin panjang deretnya di lobi, semakin tinggi pula posisi yang dirayakan.
Lucunya, papan bunga membawa pesan sekaligus perbandingan diam-diam.
Siapa yang mampu mengirim.
Siapa yang cukup penting untuk menerima.
Bahkan dalam kematian pun, hierarki itu tetap berjalan.
Ia hanya berganti wujud, warna, ukuran, dan kalimat.
Aku sering berhenti di depan deretan papan itu.
Membaca nama pengirim—perusahaan, pejabat, atau mungkin hanya seseorang yang ingin terlihat.
Di antara bunga yang tertata rapi, aku membayangkan tangan-tangan di baliknya.
Tangan-tangan yang merangkai, mengikat, mengangkat.
Tangan-tangan yang mungkin tak pernah berjabat dengan nama-nama besar yang terpampang di papan itu.
Ironisnya, mereka menciptakan kemewahan bagi seseorang yang bahkan tidak menyadari keberadaan mereka.
Lalu muncul pertanyaan getir:
Apakah mereka yang setiap hari membuat papan bunga pernah menerima satu?
Setidaknya satu papan sederhana, entah saat dirayakan atau saat dikenang setelah mati.
Aku meragukannya.
Mereka menciptakan penghormatan, tetapi mungkin pergi tanpa tanda apa pun.
Tak ada pita.
Tak ada nama.
Hanya tanah yang diam dan angin yang lewat.
Bunga-bunga itu berdiri tegak, tetapi di bawahnya ada tubuh-tubuh lelah yang menunggu pesanan berikutnya.
Keindahan dan kelelahan berjalan beriringan, namun kita terlalu sibuk memotret hasil, bukan memahami proses.
Dan di tengah aroma bunga itu, aku selalu mengingat satu hal:
Papan bunga hanya bertahan beberapa hari.
Warnanya akan pudar.
Hurufnya perlahan lepas.
Lalu dibuang.
Besok akan ada papan baru.
Nama baru.
Ucapan baru.
Namun maknanya tetap sama:
pengakuan sementara, dibalut keharuman sementara.
Mungkin begitulah pengakuan.
Semerbak di awal, lalu cepat layu.
Yang tersisa hanyalah keheningan, dan seseorang yang berdiri di antara karangan itu, bertanya dalam hati:
apa arti semua ini selain pengakuan yang dirangkai indah?
Dan di sanalah inti semuanya.
Dunia pandai menyamarkan makna dengan hiasan.
Kita belajar merayakan simbol lebih dari isi.
Padahal pada akhirnya, bunga-bunga itu hanyalah cermin manusia:
perlahan layu, lalu dilupakan.
Komentar
Posting Komentar