Aku tidak bisa hidup dengan hanya melakukan hal yang aku sukai. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di dalamnya ada kelelahan yang halus, ada penerimaan yang perlahan tumbuh. Mungkin di titik tertentu, manusia akan sadar bahwa hidup bukan tentang menyenangkan diri sendiri. Hidup, bagaimanapun juga, selalu bersinggungan dengan orang lain. Dan dari sanalah kita mulai kehilangan sedikit demi sedikit bagian dari diri kita yang dulu begitu kita jaga.
Sifat alami manusia memang aneh. Kita cenderung meninggalkan apa yang kita sukai demi orang-orang yang kita sayangi bisa melakukan apa yang mereka sukai. Kita rela. Kita bekerja keras, menelan kebosanan, bangun pagi-pagi sekali, berlari melawan waktu dan rasa lelah, hanya agar seseorang di rumah bisa tertawa lega. Kita menukar kesenangan pribadi dengan ketenangan orang lain, dan anehnya—kita menyebut itu cinta.
Kadang aku bertanya, apakah manusia memang diciptakan untuk seperti ini? Untuk terus menekan diri sendiri, mengorbankan kebebasan, dan menyebutnya pengorbanan mulia? Apakah kasih sayang memang harus dibayar dengan hilangnya sebagian dari diri kita? Mungkin memang begitu cara semesta bekerja: tidak ada yang bisa benar-benar bebas tanpa membuat yang lain terluka sedikit saja.
Dan semakin kupikirkan, semua ini seperti rantai yang halus tapi kuat. Kesenangan kita mungkin adalah hasil dari pengorbanan orang lain, dan pengorbanan kita adalah sumber daya bagi kebahagiaan orang-orang terkasih kita. Seolah-olah hidup ini berjalan dalam lingkar yang terus saling menggantikan. Tak ada kebahagiaan yang berdiri sendiri—semuanya ditopang oleh sesuatu yang diam-diam lelah di bawahnya.
Apakah ini memang esensi kehidupan? Bahwa manusia hidup untuk saling menanggung, saling menggantikan peran di dalam rantai tak terlihat itu? Kita memberi agar bisa menerima, kita menahan agar yang lain bisa tertawa. Kesenangan seseorang lahir dari air mata orang lain yang tak ingin terlihat. Begitu seterusnya, sampai semua merasa telah melakukan hal yang benar, meski tidak ada yang benar-benar bahagia sepenuhnya.
Manusia adalah makhluk yang menanggung rasa bersalah bahkan dalam hal yang paling indah. Kita mencintai, lalu merasa bersalah karena tidak bisa memberi cukup. Kita bekerja, lalu merasa bersalah karena melupakan diri sendiri. Kita berkorban, lalu diam-diam kecewa karena tak ada yang benar-benar melihat. Hidup menjadi semacam tawar-menawar panjang antara keinginan dan kewajiban, antara cinta dan kehilangan.
Mungkin begitulah takdirnya manusia.
Tidak untuk hidup dengan melakukan hal-hal yang disukai, tapi untuk tetap hidup bahkan di antara hal-hal yang dibenci. Karena di sana tersembunyi bentuk cinta paling sunyi—cinta yang memilih bertahan, bukan karena suka, tapi karena sadar: seseorang harus melakukannya.
Komentar
Posting Komentar