Ada masa dalam hidup ketika aku percaya bahwa kebaikan akan membawa seseorang pada cinta, atau setidaknya pada penerimaan. Ternyata, aku salah.
Dunia tidak berputar untuk orang baik. Dunia berputar untuk mereka yang pandai memainkan peran. Mereka yang tahu kapan harus tersenyum, kapan pergi tanpa rasa bersalah, dan kapan berpura-pura peduli lalu menghilang seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku melihatnya sendiri. Yang menipu dipeluk. Yang kasar dirindukan. Yang bersandiwara justru dijaga. Sementara yang tulus perlahan menghilang di tengah tawa orang lain. Bukan dibenci, hanya tidak dianggap.
Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada kebencian. Karena kebencian setidaknya mengakui keberadaanmu. Diabaikan membuatmu seolah tidak pernah ada.
Orang baik terlalu mudah dimaklumi, terlalu cepat memaafkan, terlalu mengerti. Akhirnya, tidak ada yang benar-benar merasa perlu menjaga mereka. Dunia tahu orang baik tidak akan membalas. Tidak akan membiarkan bara menjadi api. Mereka sibuk memadamkan, bahkan ketika hati mereka sendiri mulai hangus.
Dunia tahu orang baik akan tetap tersenyum meski hatinya hancur perlahan.
Lucu, bukan?
Kelembutan dianggap kelemahan. Kejujuran dianggap naif. Ketulusan dianggap lelucon. Yang tega disebut kuat. Yang penuh sandiwara disebut realistis. Yang memanipulasi perasaan disebut menarik. Di zaman penuh kepalsuan, kebohongan justru tampak seperti keberanian.
Mungkin orang baik juga dianggap membosankan. Mereka tidak membuat badai, tidak menciptakan drama, tidak memperpanjang luka hanya untuk merasa hidup. Mereka terlalu jujur, terlalu tenang, terlalu apa adanya. Sementara banyak orang baru merasa hidup saat berada di tengah kekacauan.
Yang jarang disadari, orang baik juga punya badai. Mereka hanya menyimpannya di dalam. Menahannya agar tidak ada hati lain yang ikut terluka. Bukan karena mereka tidak bisa meledak, tapi karena mereka paling mengerti rasanya hancur.
Kadang aku berpikir, manusia bukan mencari cinta. Mereka mencari debar. Dan jika debar itu datang dari sakit, cemas, dan permainan rasa, maka tenang akan terlihat hambar.
Mungkin itu sebabnya banyak orang memilih hubungan yang menyakitkan. Karena stabil terasa membosankan, sementara patah memberi sensasi.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Sejauh apa aku harus mengotori diri agar layak disukai? Haruskah aku belajar bicara tanpa hati, tersenyum tanpa makna, dan berhenti peduli agar dianggap menarik?
Mungkin benar, dunia tidak menghargai orang baik. Dunia hanya menghargai mereka yang tahu kapan berhenti peduli.
Namun tetap ada bagian kecil dalam diriku yang tidak bisa mati. Bagian yang percaya bahwa menjadi baik tidak salah. Menjadi baik hanya cukup menyakitkan.
Kesunyian orang baik bukan kutukan. Ia adalah harga yang harus dibayar untuk tetap menjadi manusia di dunia yang penuh topeng.
Orang baik mungkin berjalan sendirian. Tanpa tepuk tangan. Tanpa pelukan. Namun mereka tidak kehilangan arah.
Di tengah panggung yang penuh sandiwara, ketulusan adalah bentuk perlawanan terakhir.
Kebaikan tidak menjanjikan cinta. Namun ia meninggalkan kedamaian. Sesuatu yang tidak pernah dimiliki mereka yang hidup dari kepura-puraan.
Dan mungkin, itu satu-satunya kemenangan yang layak dipertahankan.
Komentar
Posting Komentar