Apa alasan seseorang untuk jatuh cinta?
Tentu banyak sekali jawaban dari pertanyaan sederhana ini. Dan aku tahu, semua jawaban dari pertanyaan itu akan terasa rumit. Menjelaskan bagaimana aku jatuh cinta sama saja seperti membuka rahasia besar tentang bagaimana aku begitu bodoh.
Mungkin kata bodoh pun masih terlalu baik untuk menjelaskannya.
Tidak ada alasan. Aku tidak pernah memulai cinta dengan alasan. Aku hanya jatuh saja — bagaimana aku jatuh, aku sendiri tidak pernah tahu alasannya. Entah aku terperangkap, tidak berhati-hati, terlalu ceroboh, atau apa pun itu. Aku tidak pernah benar-benar mengerti, dan mungkin juga tidak pernah belajar.
Saat terjatuh ke dalam lubang tanpa akhir itu, tidak ada yang aku dapat.
Aku tidak menemukan penjelasan apa pun. Aku hanya sibuk mencari alasan pembenar yang paling masuk akal dari tragedi besar itu. Ya, sejauh ini, jatuh cinta bagiku adalah rangkaian tragedi. Dan jika tragedi itu bisa dijelaskan, mungkin tulisan ini adalah sedikit upaya untuk memahami semua yang belum pernah bisa aku pahami.
Aku tidak bisa dibilang orang yang sulit jatuh cinta, tapi aku juga bukan orang yang mudah mencintai siapa pun. Mungkin perasaan yang sejak lama berantakan menjadi alasan mengapa aku jatuh dan mencinta secara acak. Sebelum aku bercerita lebih jauh, aku hanya ingin kalian tahu — aku tidak pernah benar-benar dicintai.
Sejauh yang aku tahu, tidak pernah ada orang yang dengan sukarela jatuh dan tetap bertahan dalam kebodohan yang sama seperti yang aku rasakan.
Biasanya, saat aku bertemu seseorang yang kucintai, semuanya terjadi begitu klise. Aku melihat dia, lalu jatuh cinta. Bahkan beberapa dari mereka aku tak tahu namanya, apalagi makanan kesukaannya.
Mungkin aku memang langganan cinta pada pandangan pertama. Secara logika, itu hal paling tidak masuk akal — dan entah berapa kali sudah aku coba akal-akali.
Cinta, pada akhirnya, adalah satu-satunya hal yang mencoreng riwayat hidupku sebagai orang yang cukup logis.
Saat jatuh cinta, aku mungkin tak seperti kebanyakan orang.
Mungkin itu juga sebabnya mengapa penolakan datang berkali-kali — penolakan nyata, penolakan tersirat, dan semua bentuk penolakan yang terlalu memalukan untuk aku sebut satu per satu.
Setelah jatuh cinta, aku cenderung mempertanyakan diriku sendiri:
Apakah aku benar-benar jatuh cinta?
Aku tidak membuat percakapan, aku malah sibuk bertanya pada diri sendiri.
Mencari-cari alasan untuk meyakinkan bahwa, ya, aku jatuh cinta padanya.
Dan di sinilah letak kebodohanku.
Dia tidak tahu apa-apa, sedangkan aku sudah menyiapkan jutaan cinta untuknya.
Kamu tahu letak kebodohannya?
Ya, seperti permainan, aku selalu memulai dengan taruhan paling besar.
Dan soal cinta, aku bukan orang yang pandai menyimpan sebagian perasaan di saku.
Aku memberi segalanya tepat saat keyakinan itu datang.
Meski aku tahu pepatah lama: “Dalam hubungan, dia yang jatuh cinta lebih dulu akan kalah.”
Tapi aku tak pernah belajar.
Logikaku hanya bisa menatap kebodohan perasaanku — seolah mengerti bahwa kekalahan itu sudah di depan mata.
Seperti melamar seseorang di pertemuan pertama — tentu tak ada hasil selain penolakan, bukan?
Seperti datang dengan pakaian formal di pertemuan santai — tentu akan terlihat aneh, bukan?
Mungkin jika ada satu pelajaran yang bisa aku ambil tentang cinta, aku akan berkata bahwa kesiapan bukan selalu hal yang baik.
Terlebih jika yang siap hanya diri sendiri — datang tanpa aba-aba, membawa cinta yang terlalu penuh.
Mungkin benar, cinta memang harus setara.
Sebab siapa yang memulai lebih dulu, dialah yang akan paling terluka.
Dan sejauh ini, aku masih belum mengerti.
Lebih tepatnya, aku belum bisa mengendalikan diri.
Aku terlalu malas menumbuhkan cinta perlahan pada seseorang yang belum benar-benar aku yakini.
Tapi pada akhirnya, tetap saja aku yang jatuh cinta — dan mereka yang belum siap menerima cinta dari orang asing tanpa aba-aba.
Ini salahku.
Dan penderitaan ini, mungkin memang seharusnya menyadarkan aku —
menyadarkan bahwa cara aku jatuh cinta selama ini… memang salah.
Namun kini aku paham, ini bukan salah siapa-siapa.
Ini hanya cara dunia memberi tahu,
bahwa mencintai tanpa aba-aba adalah bentuk paling lembut dari menyakiti diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar