Pada akhirnya, aku menyadari satu hal. Aku sudah melakukan apa yang mampu aku lakukan.
Menjadi seseorang yang bernilai ternyata tidak selalu bergantung pada seberapa banyak orang memahami nilai itu. Setiap orang memakai kacamatanya sendiri. Nilai sering kali diukur dari ketajaman seseorang membaca orang lain, bahkan ketika nilainya tersembunyi.
Tidak dihargai bukan berarti tidak memiliki harga. Nilai hanya tampak bagi mereka yang tahu cara melihat. Emas adalah batu asing bagi mata yang tidak mengenal kilau. Permata hanya benda mengilap bagi hati yang dangkal.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Pernahkah kita benar-benar menilai diri dengan jujur? Atau kita hanya pandai mencaci diri ketika cermin memantulkan bayangan yang tidak sesuai ekspektasi?
Kita sering terlalu keras pada diri sendiri, terlalu pelit memberi pujian, padahal kita tahu betul bahwa bertahan sejauh ini saja sudah merupakan pencapaian. Bukan karena kita rendah, melainkan karena kita lupa cara memandang diri dengan jernih.
Cermin tidak pernah jujur pada mereka yang sejak awal sudah membawa vonis. Kamu terlihat seburuk cara pandangmu sendiri. Padahal kenyataannya, refleksimu tidak seburuk itu. Kamu hanya terlalu gemar menghakimi.
Seseorang baru benar-benar bernilai ketika ia mampu melihat dirinya apa adanya. Mereka yang mengerti kekurangan akan tumbuh. Mereka yang hanya sadar tanpa memahami akan berhenti di titik yang sama, sibuk meratapi diri.
Aku pun masih belajar. Masih sulit melepaskan penilaian orang lain dari pundakku. Kadang aku merasa diriku hanyalah bayangan dari cara orang memperlakukanku, bukan diriku yang sebenarnya.
Lalu aku bertanya lagi. Apakah kita harus meminjam mata orang lain untuk tahu siapa diri kita? Apakah nilai diri baru sah jika disetujui oleh kerumunan? Bisakah seseorang berjalan dengan kompasnya sendiri tanpa takut dianggap tersesat?
Dari situ aku menyadari sesuatu. Nilai tidak selalu lahir dari pengakuan. Kadang ia tumbuh dari cara seseorang tetap berjalan, tetap memilih, tetap bernapas dengan tenang, meski dunia tidak bersorak untuknya.
Pujian bisa mengangkat. Namun penerimaan diri adalah tanah tempat kaki berpijak.
Dan mungkin, sebagian dari kita bukan kurang berharga. Kita hanya belum bertemu mereka yang mengerti bahasa nilai kita.
Mungkin aku barang langka yang belum menemukan tuannya. Atau batu biasa yang kelak menjadi fondasi bagi sesuatu yang lebih besar.
Apa pun itu, kini aku tahu satu hal. Tidak ada yang benar-benar tidak berharga. Kadang yang kita cari lebih dekat daripada yang kita sadari.
Maka katakan dengan pelan dan pasti. Kamu berharga, bahkan sebelum ada yang mengakuinya.
Komentar
Posting Komentar