Pada prinsipnya, aku sudah melakukan apa yang mampu aku lakukan. Menjadi seseorang yang bernilai, ternyata bukan lagi tentang seberapa banyak orang memahami nilai itu sendiri. Orang-orang punya kacamata masing-masing. Nilai seseorang pun seringkali dilihat dari kemampuannya menilai nilai orang lain — bahkan yang tersembunyi sekali pun.
Tidak dihargai adalah hal paling mustahil dalam kehidupan. Bukan karena seseorang tidak punya harga, melainkan karena nilai hanya tampak bagi mereka yang tahu cara melihatnya. Emas hanyalah bongkahan benda asing bagi yang tak mengenalnya. Permata hanya batu mengkilap, tak lebih dari itu.
Pernahkah kita benar-benar menilai diri sendiri? Bukankah sebagian dari kita lebih sering mencaci daripada memuji diri sendiri? Kita merasa rendah, bahkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya bisa kita hargai. Setidak bernilainya kah pandangan kita terhadap diri sendiri? Mengapa cermin selalu menjadi ruang penghakiman?
Kamu, aku, kita — tidak lebih rendah dari apa yang terlihat. Mata kita terlalu subjektif. Kita semena-mena kepada diri sendiri. Kita merasa rendah bukan karena rendah, tapi karena terlalu enggan memuji diri sendiri. Sebagian manusia memang hidup untuk menguji, mengkaji, dan menghakimi dirinya tanpa henti. Kegagalan dan ketidakpuasan menciptakan embun di mata. Cermin tidak pernah jujur kepada mereka yang sejak awal sudah membawa penilaian sendiri.
Kamu buruk — seburuk cara pandangmu sendiri.
Dan seseorang hanya akan terlihat bernilai ketika ia mampu melihat dirinya secara murni.
Orang yang hanya tahu kelemahan dirinya tidak akan pernah benar-benar memahami nilai hidup. Tapi mereka yang paham kekurangannya, tahu bagaimana cara memperbaiki. Yang tahu, akan berproses. Yang hanya sadar, akan bersedih. Dan di titik itu, kehidupan seakan terasa tidak lebih tinggi dari kata “layak” itu sendiri.
Ini bukan pembahasan yang mudah, terutama bagi manusia yang kerap merasa kecil. Bagi orang-orang sepertiku, yang masih peduli pada penilaian orang lain. Aku sering merasa bahwa diriku adalah akumulasi prasangka — hasil bias dari cara orang memperlakukanku.
Apakah memang setiap manusia memiliki cacat seperti itu?
Apakah setiap orang benar-benar buta terhadap dirinya sendiri?
Apakah kita perlu meminjam mata orang lain untuk menentukan siapa kita?
Tidak bisakah seseorang berjalan dengan penilaiannya sendiri — tanpa dituntun oleh standar sosial yang ramai-ramai disetujui tapi tak pernah benar-benar dimengerti?
Pertanyaan-pertanyaan itu menuntunku ke satu titik:
Dari mana sesungguhnya nilai seseorang berasal?
Apakah dari pengakuan sosial, atau justru dari bagaimana ia menjalani hidup — dari sikapnya, perbuatannya, penerimaannya, dan caranya memandang dirinya sendiri?
Apakah pujian memang sesuatu yang asing bagi sebagian orang?
Dan dari manakah sebenarnya kepercayaan diri lahir? Dari derasnya pujian, atau justru dari tenangnya penerimaan?
Aku belum sepenuhnya paham. Tapi aku sedang belajar.
Belajar melihat bahwa aku tetap berharga, bahkan di tengah sepinya pujian dan sulitnya penerimaan.
Mungkin aku hanyalah barang langka yang belum menemukan tuannya.
Atau bongkahan batu yang belum menjadi fondasi bagi sesuatu yang besar.
Tapi satu hal yang pasti:
Tidak ada yang benar-benar tidak berharga.
Percayalah, kamu hanya belum menemukan tempat dan orang yang memahami nilai kamu sepenuhnya.
Dan tempat itu, orang itu — seringkali tidak jauh dari pelupuk matamu.
Tidak lebih luas dari ujung kakimu sampai kepalamu.
Katakan padanya, dengan lembut namun tegas:
Kamu berharga.
Komentar
Posting Komentar