Bekerja di tempat yang mewah membuatku sadar bahwa keindahan sering lahir dari tangan-tangan yang tidak pernah diajak menikmatinya.
Bukan karena dunia kejam, tetapi karena begitulah cara dunia berjalan.
Yang tampak indah berdiri di atas kerja sunyi yang jarang terlihat.
Setiap pagi, sebelum ruangan dipenuhi suara manusia, seseorang datang lebih dulu.
Ia membuka pintu, menyalakan lampu, menata bunga, menggosok lantai hingga mengilap.
Sidik jarinya seolah hilang, bercampur dengan marmer yang nanti diinjak sepatu-sepatu seharga lebih dari sebulan gajinya.
Ia tidak banyak bicara.
Baginya, lantai yang bersih sudah cukup menjadi tanda bahwa hari itu berjalan sebagaimana mestinya.
Setiap kilau lantai, setiap bunga segar, dan setiap tawa VIP lahir dari tangan seseorang yang tidak pernah diundang duduk di ruangan itu.
Mereka menjaga agar dunia percaya bahwa tempat ini memang seindah itu.
Keindahan yang tampak alami, padahal dibangun dari peluh, diam, dan lelah yang tidak pernah disorot.
Saat ruangan mulai ramai, ia menepi.
Ia tahu posisinya.
Datang tanpa disambut, pergi tanpa disadari.
Tidak duduk di kursi yang setiap hari ia rapikan.
Tidak menikmati kemewahan yang setiap hari ia pastikan tetap ada.
Tugasnya hanya memastikan.
Ironisnya, kemegahan ini justru diciptakan oleh mereka yang, jika muncul di pesta, mungkin dianggap mengganggu estetika.
Bukan karena salah, tetapi karena dunia membiasakan manusia berdiri sesuai perannya.
Di sela hiruk-pikuk, ia mungkin sekilas menatap tamu-tamu yang tertawa.
Tawa mereka terdengar lepas, tetapi baginya terasa getir.
Bukan karena iri, melainkan karena ia tahu tawa itu sering lebih lebar daripada kebahagiaan yang sebenarnya.
Di saat yang sama, ada senyum kecil di wajahnya.
Uang tip yang dianggap sepele mampu membuat keluarganya tersenyum lebar di rumah.
Bagi mereka mungkin kecil, tetapi di tangannya, tip itu menjadi nyata, hangat, sederhana, dan penuh arti.
Begitulah hukum kemewahan.
Ada yang merayakan, ada yang menjaga agar perayaan tetap berjalan.
Ada yang menikmati, ada yang memastikan segalanya tampak sempurna.
Tidak salah, tidak benar.
Hanya peran yang berbeda, posisi yang tidak setara, namun saling bergantung.
Ketika malam tiba, lampu padam, dan aroma bunga memudar, ia menatap sekali lagi ruangan kosong itu.
Tempat yang ia rawat, tetapi tak pernah menjadi miliknya.
Ia melangkah pulang dengan tubuh lelah, namun hati penuh, karena di rumah ada senyum yang menunggunya.
Senyum yang lahir dari tip kecil, dari sisa tenaga yang ia titipkan di setiap lantai yang berkilau.
Mungkin inilah keindahan yang paling jujur.
Tidak perlu sorot, tidak perlu dikenang.
Cukup memastikan hari ini berjalan sebagaimana mestinya.
Komentar
Posting Komentar