Manusia modern hidup dengan standar layak hidup yang berbeda.
Terbiasa menuntut banyak,
namun berusaha sedikit.
Lebih sering berusaha terlihat waras
daripada benar-benar hidup layak.
Bukan karena tidak bisa,
melainkan karena standar yang kita ciptakan
sering kali mengada-ada.
Dulu, bahagia begitu sederhana.
Orang-orang lampau cukup merasa cukup.
Entah siapa yang memulai,
pertarungan ini sebenarnya tidak perlu.
Namun zaman sekarang terlanjur bajingan.
Orang-orang hidup dengan diagnosa serupa.
Kepala pecah terbentur ekspektasi.
Mata sobek menatap masa depan.
Mulut berair merapal doa-doa dunia.
Kepala mengeras,
marah pada hidup.
Dan begitulah zaman ini:
untuk sekadar merasa hidup,
kita justru mengorbankan kehidupan yang sesungguhnya.
Dari sudut pandang mana pun,
ini berlebihan.
Tidak seharusnya manusia
terlalu keras pada dirinya sendiri
hanya karena hidup biasa-biasa saja
dianggap tidak populer.
Orang bijak kian langka.
Yang banyak justru ingin terlihat bajik,
namun gagal bersikap bijak
pada dirinya sendiri.
Memang benar,
ini zaman edan.
Namun manusianya yang edan.
Dunia tetap sama.
Hidup tetap sama.
Sejak dulu,
hidup hanya perlu hidup,
tanpa alasan,
tanpa tekanan.
Hidup lebih baik dinikmati.
Meski sederhana.
Meski tidak menggelegar.
Meski sering sepi.
Tidak harus tercatat
di kumpulan kisah sukses.
Tidak harus dinilai berhasil
oleh standar yang terus berubah.
Semua itu percuma
jika manusia gagal
menjadi manusia.
Manusia yang sadar,
meski gagal berkali-kali,
tetaplah manusia.
Ironisnya,
yang paling sering dilupakan manusia
adalah fakta paling sederhana:
ia adalah manusia.
Dengan segala ketidaksempurnaan di dalamnya.
Dan kegagalan
bukanlah sesuatu yang haram.
Manusia hanya perlu menjadi manusia.
Selebihnya hanyalah rasa perlu
yang menipu.
Perlu yang, pada dasarnya,
adalah keinginan.
Dan keinginan itu,
sering kali hanya ingin
menjadi seperti orang lain.
Kompleksitas
yang sejatinya
tidak pernah benar-benar perlu.
Komentar
Posting Komentar