Dunia memang berisik.
Namun manusia tidak bisa menutup telinga selamanya.
Kadang kita perlu mendengar denyut lara
di balik setiap teriakan,
karena tidak semua suara adalah ancaman.
Sebagiannya hanyalah hati
yang tidak tahu lagi bagaimana meminta tolong.
Kita sering bertanya dalam diam:
“Kenapa harus seramai ini?
Bukankah aku sudah tenang?”
Namun ketenangan kita
bukan alasan dunia ikut diam.
Ada kepedihan
yang tidak padam
hanya karena kita berhasil
menenangkan milik kita sendiri.
Kadang kebisingan itu mengganggu.
Namun ada kalanya ia menjadi pengingat:
ketenangan bukan ruang kedap suara.
Tenang bukan berarti tuli.
Tenang adalah kemampuan
mendengar tanpa tergulung arusnya.
Manusia, mau tidak mau,
saling menggaung.
Ada hati yang menabrak kita
bukan karena benci,
melainkan karena tidak menemukan
tembok lain
yang cukup kuat menampung bebannya.
Ada suara yang memecah sunyi
bukan untuk mengusik,
tetapi untuk memastikan
dirinya belum sepenuhnya hilang.
Mungkin itulah sebabnya
kita tidak bisa memutus dunia begitu saja.
Sebagian kebisingan
bukan tentang dunia yang kacau,
melainkan tentang seseorang
yang sedang mencari tempat
untuk merasa utuh.
Dan kadang,
mendengarkan adalah bagian
dari menjadi manusia.
Bukan kewajiban,
melainkan naluri halus
yang mengerti
bahwa diam pun
bisa terlalu sunyi
untuk menenangkan.
Kita tidak harus ikut riuh.
Cukup tetap manusia:
punya ruang untuk diam,
dan ruang lain untuk mendengar.
Tenang bukan pelarian,
melainkan cara berjalan pelan
agar tidak kehilangan arah.
Dunia boleh ribut.
Kita tidak perlu melawannya.
Cukup mengerti:
kebisingan itu bukan milik kita,
tetapi keberadaan kita
bisa menjadi tempat
gema itu mereda.
Selebihnya,
diam seperlunya.
Dengar sewajarnya.
Hidup secukupnya.
Ketenangan
bukan menutup telinga,
melainkan memilih
suara mana
yang layak tinggal di hati.
Komentar
Posting Komentar