Sejak awal, mungkin kita memang tidak perlu bertemu.
Aku tidak pernah meminta banyak dari hidup. Hidup sederhana, tanpa ambisi besar, sudah cukup bagiku. Aku tidak malu pada apa yang kupunya, dan tidak merasa rendah karena apa yang tidak kumiliki.
Lalu beberapa orang datang, termasuk kamu. Entah bagaimana, kehadiranmu membuatku menginginkan lebih. Lebih dari yang cukup. Lebih dari yang menenangkan. Dan mungkin di situlah masalahnya.
Mungkin memang lebih baik jika kita tidak pernah bertemu. Kamu membuatku percaya pada harapan yang bahkan tidak pernah benar-benar ada. Bertemu denganmu terasa seperti penipuan terbesar dalam hidupku. Bukan karena niatmu, tapi karena aku memilih percaya.
Jika dipikir-pikir, dosa terbesarmu adalah membuat pria yang realistis terjebak dalam fantasi. Dan sialnya, itu jenis dosa yang selalu aku ampuni.
Kadang aku bertanya, jika kita tidak pernah bertemu, apakah aku masih menjadi pria yang tersenyum simpul? Jika jalan cerita berbeda, seperti apa aku sekarang? Dan jika aku mengutukmu, apakah rasanya akan lebih baik bagiku? Entahlah.
Yang jelas, aku memang tidak baik-baik saja. Bahkan sejak awal, aku tidak pernah benar-benar baik-baik saja.
Aku tidak pandai menutup luka. Aku bukan penipu yang andal. Untuk membohongi diriku sendiri saja aku gugup.
Aku kehilangan diriku sendiri. Kehilangan hidup yang seharusnya berjalan untukku, bukan untuk bayangan siapa pun. Kehilangan kepercayaan pada satu-satunya orang yang seharusnya bisa kuandalkan, diriku sendiri.
Dan ini bukan hanya tentang kamu. Syukurnya, kamu bukan satu-satunya. Terlalu banyak “kamu” dalam hidupku. Kamu bukan yang pertama, dan bukan satu-satunya alasan aku tidak bahagia.
Jadi ini tentang aku. Tentang aku dan kalian. Kalian yang pernah, dan mungkin akan menyakitiku.
Beruntunglah kalian. Aku ditakdirkan menjadi manusia yang mudah memaafkan orang lain, tapi tidak dirinya sendiri. Aku tidak benar-benar mengutuk siapa pun. Aku terlalu sibuk menghakimi diriku sendiri.
Aku tidak punya cukup tenaga untuk mengubah cinta menjadi benci, meski disakiti berkali-kali. Intinya, aku pernah, dan mungkin akan tetap, mencintai kalian. Setelah itu, biarlah menjadi urusanku.
Aku sudah terlalu sering kecewa. Jadi mungkin aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir.
Meski aku tahu, kamu tidak pernah benar-benar mengkhawatirkanku.
Tidak apa-apa. Memang sebaiknya kamu tidak pernah tahu.
Lihat saja aku sebagai pria yang tegar. Pria yang menerima luka dengan kepala tegak. Cukup lihat aku seperti itu, kini dan seterusnya.
Komentar
Posting Komentar