Dunia adalah puncak bias penilaian, dan manusia adalah korban sekaligus pelakunya.
Kadang ada bias yang samar tentang nilai seseorang. Sebelum berbicara tentang nilai, hal yang lebih patut dibicarakan adalah bagaimana seseorang memandang. Karena sering kali, bukan halnya yang kabur, melainkan matanya yang tak lagi jernih.
Kadangkala taburan bintang di malam hari hanya bisa dilihat oleh mata telanjang, tanpa lensa, tanpa kacamata. Namun kita tumbuh dalam dunia yang memberi kacamata sejak dini: ukuran, standar, reputasi, dan perbandingan. Kita diajarkan melihat melalui lensa-lensa itu, sampai lupa bagaimana rasanya menatap apa adanya.
Kita belajar menilai orang lain lebih cepat daripada memahami alasan di baliknya. Dari situlah bias lahir, bukan karena manusia bodoh, tetapi karena manusia jarang berani menatap tanpa penyaring.
Nilai sering kali dibentuk oleh sorotan, bukan oleh substansi. Apa yang tampak benar menjadi ukuran, bukan apa yang sebenarnya benar. Kita menilai seseorang dari hasil, padahal yang menentukan justru perjalanan menuju hasil itu. Kita menilai dari suara yang paling lantang, padahal kebenaran sering berbicara dengan nada yang terlalu rendah untuk didengar.
Mungkin itu sebabnya, semakin keras dunia berteriak, semakin jauh ia dari pemahaman.
Ada ketajaman melihat, dan ada ketulusan memandang. Yang pertama menembus, yang kedua merangkul. Ironisnya, manusia lebih sering berusaha menembus untuk menghakimi daripada memandang untuk memahami.
Padahal dalam hidup, kita tidak selalu butuh menilai setiap hal. Kadang cukup menyaksikan dan belajar darinya.
Lalu muncul pertanyaan yang lebih sunyi: apakah kamu benar-benar tidak bernilai? Atau jangan-jangan, kamu terlalu bias terhadap dirimu sendiri? Atau mungkin mereka yang menilaimu tidak cukup telanjang dalam memandangmu, masih melihatmu melalui kacamata prasangka, ukuran, dan gema dunia yang tidak mengenal makna tenang.
Maka pertanyaan apakah kita berharga atau tidak tidak pernah lebih penting daripada bagaimana kita memandang nilai seseorang. Sebab di balik setiap penilaian, selalu ada cermin yang memantulkan arah berbeda.
Dan terkadang, yang tampak kabur hanya tampak begitu karena kita tak berani menatap dengan mata sendiri.
Mungkin dunia baru akan terlihat jernih saat kita berani menatapnya tanpa kacamata.
Komentar
Posting Komentar