Tidak ada kata seharusnya.
Padahal, kalimat pertama yang ingin kutulis adalah:
seharusnya kita bertemu lebih awal.
Namun aku mengurungkannya.
Sebab jika waktu itu kita sudah bertemu,
surat ini mungkin bukan lagi tentangmu.
Aku belum tahu siapa kamu.
Mungkin kamu bukan salah satu dari mereka
yang pernah kutebak selama ini.
Hidupku sudah berjalan cukup jauh,
tetapi belum ada tanda pasti tentang pertemuan kita.
Tanda-tanda yang datang ternyata bukan kamu.
Kini aku tidak lagi mencari untuk menemukanmu.
Aku percaya, bila aku tidak menemukan seseorang,
maka seseorang akan menemukan aku.
Siapa yang lebih dulu, itu tidak penting.
Yang penting, pada akhirnya, kita akan bertemu.
Ini bukan kisah cinta sensasional
seperti Romeo dan Juliet,
atau Rama dan Sinta.
Ini kisah sederhana,
tentang dua manusia biasa
yang akhirnya saling sampai.
Surat ini tidak akan cukup
untuk menggambarkan bagaimana nanti
tatap pertama itu terjadi,
atau alasan mengapa semesta
akhirnya mempertemukan kita.
Cerita itu terlalu panjang
untuk dituliskan sekarang.
Mungkin ia akan terucap pelan nanti,
di ranjang yang sama,
ketika hidup sudah menyatukan kita,
dan waktu, dengan caranya yang lembut,
membiarkan kita saling mengerti
tanpa tergesa.
Dalam hidup sederhana
yang akan kita jalani,
akan selalu ada ruang
untuk membicarakan kita:
pernikahan kita,
anak-anak kita,
cucu-cucu kita,
dan keseharian
yang mungkin tampak biasa,
namun tetap terasa berharga.
Mungkin saat ini kita belum bertemu.
Mungkin garis merah itu nyata,
mungkin juga tidak.
Mungkin kita pernah bersisian tanpa sadar,
atau mungkin kita lebih dekat
dari yang kita kira.
Namun pertemuan
punya caranya sendiri.
Menebak-nebak
hanya membuat letih.
Jadi, untuk sekarang,
hiduplah dengan baik.
Bahagia,
bermakna,
tetap berjalan.
Agar ketika kita bertemu nanti,
itu bukan sekadar pertemuan dua manusia,
melainkan pertemuan dua perjalanan
yang telah matang,
yang akhirnya tiba
pada satu tujuan.
Komentar
Posting Komentar