Orang bilang, tulisan adalah sarana paling jujur seseorang.
Tapi bagiku, tidak seperti itu.
Mungkin iya — saat menulis kamu tidak akan disela. Kamu bisa bicara semaunya, sepanjang yang kamu mau. Bahkan kamu tidak perlu peduli pada titik dan koma.
Namun tidak denganku.
Menulis bagiku adalah kegiatan menelanjangi diri.
Jujur saja, aku malu.
Aku takut terlihat berantakan.
Aku malu memperlihatkan betapa sesaknya hidupku, yang bisa kamu lihat di antara panjangnya sebuah kalimat yang jauh dari tanda titik.
Tulisanku begitu ketara.
Semakin berantakan tulisanku, seberantakan itu juga aku.
Kamu tahu rasanya meledak?
Saat meledak, setiap hal akan berhamburan.
Perasaanku yang meledak sering mengantarkanku pada tulisan yang sulit dicerna — terutama oleh orang yang sedang bahagia.
Kamu tidak akan mengerti jika hanya membaca sekali.
Membaca tulisanku sama saja seperti berbicara dengan orang gagap, gugup, dan tak terbaca.
Bukan karena tak bisa dibaca, hanya saja perasaanku kadang terlalu kompleks untuk dijelaskan.
Tapi begitulah perasaan — sesuatu yang tidak pernah benar-benar terlihat terang-terangan.
Pernahkah kamu jujur pada perasaanmu sendiri?
Aku rasa, sebagian besar orang adalah pembohong.
Paling tidak, mereka pernah berbohong pada dirinya sendiri.
Itu manusiawi.
Namun juga menimbulkan pertanyaan: apakah kita sudah menjadi manusia seutuhnya?
Sebenarnya, bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap perasaannya?
Apakah membiarkannya bersembunyi dan perlahan menggerogoti hati,
atau jujur pada dunia dan melukai orang-orang di dalamnya?
Karena yang aku tahu — perasaan jujur seseorang sering kali jauh dari sifat manusiawi itu sendiri.
Dan jika boleh jujur, aku juga sama.
Aku ingin menang atas segalanya.
Aku ingin semua yang baik untukku, bahkan jika itu tidak baik untuk orang lain.
Termasuk bagaimana aku ingin bersamamu — meski satu generasi harus tersakiti karenanya.
Jika aku tidak peduli, mungkin aku bukan lagi korban.
Mungkin aku adalah penjahat yang akan kamu benci.
Komentar
Posting Komentar