Orang sering ingin tampak bajik.
Berbuat baik agar disukai, berkata benar agar dihormati, tersenyum agar tak disalahpahami.
Namun semakin lama aku hidup, semakin aku mengerti bahwa kebajikan sering kali lahir dari ketakutan, bukan dari keikhlasan.
Aku, pada dasarnya, tidak ingin menjadi bajik.
Dan jika jujur, aku pun jauh dari kata itu.
Mungkin aku lebih ingin menjadi bijak.
Sebab orang bajik kerap sibuk terlihat benar,
sementara orang bijak tahu bahwa kebenaran tidak selalu tampak manis.
Dulu aku menilai manusia dari kelakuannya.
Sekarang aku mencoba melihat niat di baliknya.
Ada yang berbuat baik karena ingin diterima,
ada yang tampak dingin karena sedang menahan luka agar tak melukai siapa pun.
Yang terlihat lembut belum tentu tulus,
yang tampak keras belum tentu jahat.
Bijak berarti memahami sebelum menilai.
Mendengarkan lebih lama dari biasanya.
Mengetahui kapan harus bicara,
dan kapan harus membiarkan waktu yang menjelaskan.
Aku pernah berusaha menjadi bajik.
Yang kudapat hanya lelah.
Lalu aku mencoba menjadi bijak,
dan di sanalah aku menemukan damai.
Karena kebijaksanaan bukan soal mengerti banyak hal,
melainkan mampu menahan diri saat kita tahu terlalu banyak.
Aku dibesarkan dengan dogma bahwa setiap manusia seharusnya menjadi orang baik.
Aku berusaha keras agar tak menyakiti siapa pun.
Aku menelan marah, menahan kecewa, memaafkan bahkan saat hatiku belum pulih.
Kupikir itu kebajikan.
Ternyata, itu ketakutan.
Aku takut ditinggalkan jika jujur.
Takut dibenci jika menolak.
Takut terlihat buruk jika berkata, “aku juga bisa lelah.”
Lama-kelamaan aku sadar:
kebajikan tanpa kejujuran hanyalah kepalsuan yang rapi.
Ia terlihat lembut, tapi kosong.
Sejak itu aku belajar diam bukan karena takut,
melainkan karena sadar bahwa tidak semua harus dijawab.
Aku belajar berkata “tidak” tanpa rasa bersalah,
dan “maaf” tanpa ingin dipuji.
Aku berhenti berusaha terlihat baik.
Aku hanya berusaha tidak kehilangan hati.
Dari situ aku paham,
orang bijak bukan yang tak pernah salah,
melainkan yang bisa melihat kesalahannya tanpa membenci dirinya sendiri.
Mungkin memang begitu jalannya:
kita harus gagal menjadi bajik,
sebelum akhirnya mengerti arti bijak.
Ada titik dalam hidup ketika aku berhenti ingin menjadi banyak hal.
Bukan lagi ingin benar, bukan ingin disukai, bukan ingin menang.
Aku hanya ingin bijak.
Aku sampai di sana bukan karena merasa suci,
melainkan karena lelah.
Lelah berdebat.
Lelah menjelaskan.
Lelah meyakinkan dunia bahwa niatku baik.
Kebijaksanaan tidak lahir dari kemenangan,
melainkan dari kelelahan yang akhirnya dipahami.
Aku memilih hidup dengan cara bijak karena bijak tidak pernah kedaluwarsa.
Zaman berubah, cara berganti,
tetapi memahami manusia selalu relevan.
Jika aku mewariskan sesuatu,
aku ingin itu berupa ketenangan.
Bukan nasihat, bukan teori,
hanya cara hidup.
Sebab dunia sudah penuh dengan orang yang ingin didengar.
Yang dibutuhkan sekarang adalah mereka yang mau mendengarkan.
Banyak orang salah paham tentang kebijaksanaan.
Mereka mengira bijak itu abu-abu, tidak tegas, tidak berpihak.
Padahal bijak bukan berdiri di tengah,
melainkan berdiri dengan kepala dingin di antara dua pihak yang saling berteriak.
Bijak bukan bermuka dua,
melainkan berhati satu yang berusaha memahami semua arah
sebelum menunjuk satu jalan.
Aku memilih bijak karena dunia tidak kekurangan orang pintar.
Yang langka adalah orang yang mengerti bahwa setiap manusia punya alasan.
Jika suatu hari aku tidak meninggalkan apa-apa,
aku berharap setidaknya aku meninggalkan ketenangan.
Agar mereka yang datang setelahku tahu:
hidup tidak harus dimenangkan,
kadang cukup dimengerti.
Jika suatu hari aku berhenti menulis,
aku tidak ingin dikenang karena kata-kataku,
melainkan karena caraku berhenti menyakiti.
Kebijaksanaan bukan tentang tahu segalanya,
tetapi tahu kapan harus berhenti memaksa.
Berhenti menjelaskan.
Berhenti melawan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilawan.
Dulu aku ingin meninggalkan jejak besar.
Kini aku mengerti:
yang paling berharga dari manusia bukan apa yang ia tinggalkan di dunia,
melainkan apa yang ia sisakan di hati orang lain.
Aku tidak punya banyak.
Aku hanya manusia dengan sedikit kebijaksanaan.
Namun jika kebijaksanaan kecil yang lahir dari luka
bisa membuat seseorang lebih sabar,
maka mungkin itu cukup.
Kebijaksanaan memang tidak ramai.
Ia tidak menuntut, tidak bersaing, tidak ingin dikenal.
Ia hanya duduk tenang,
menunggu sampai seseorang mengerti:
bahwa tidak semua yang lembut itu lemah,
tidak semua yang diam itu kalah.
Dan jika kelak waktuku selesai,
aku ingin pergi tanpa suara.
Tanpa pesan panjang.
Tanpa perpisahan.
Hanya keheningan yang semoga bisa dimengerti:
bahwa di dunia yang keras,
aku memilih menjadi lembut,
dan di hidup yang singkat,
aku memilih menjadi bijak.
Komentar
Posting Komentar