Di dunia yang sibuk menilai siapa yang baik dan siapa yang jahat, kita jarang berhenti sejenak untuk bertanya mengapa seseorang bisa menjadi seperti itu. Mungkin karena manusia lebih gemar menilai hasil daripada memahami proses. Padahal, di antara kebaikan dan keburukan, selalu ada ruang abu-abu yang disebut alasan, dan kadang, di sanalah hati manusia sebenarnya berdiam.
Mencari orang baik itu melelahkan. Begitu juga menjadi orang baik. Kadang kita merasa sendirian di jalan yang seharusnya ramai oleh niat baik, tapi ternyata hanya sunyi yang menemani. Dan ketika dalam hidup kita tak kunjung menemukan orang baik, apakah menjadi baik masih relevan? Aku rasa, tetap.
Menjadi baik tidak selalu berarti bergumul dengan orang baik. Bahkan manusia paling buruk pun bisa menyimpan sesuatu yang baik, biasanya dalam bentuk pelajaran. Dari mereka kita belajar tentang batas, tentang luka yang jangan diulang, tentang sisi manusia yang harus dijaga agar tak rusak seperti itu. Kebaikan kadang bukan soal meniru, tapi soal memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Namun, ada lapisan kebaikan yang lebih dalam dari sekadar menahan diri. Salah satu bentuk usaha menjadi baik adalah berani memahami alasan seseorang menjadi buruk. Kadang kita terlalu cepat menilai tanpa mau duduk di sudut pandang orang lain. Padahal, memahami bukan berarti membenarkan; itu hanya cara agar hati kita tidak kehilangan arah saat melihat gelap. Karena di balik setiap keburukan, hampir selalu ada cerita yang ingin dimengerti.
Dan mungkin, di sanalah kebaikan menemukan jalannya: tidak dengan menghakimi, tapi dengan mengerti. Hidup di gurun pasir tentu membuat siapa pun dahaga. Tapi haruskah setiap manusia hanya minum dari sumber mata air yang jernih saja? Bukankah menyaring kubangan juga salah satu usaha? Begitu pula dengan menjadi orang baik.
Kita tidak selalu belajar dari teladan, kadang justru dari keburukan yang ingin kita perbaiki. Tidak semua air berasal dari langit, tapi semua bisa jadi penawar jika kita mau berusaha menjernihkannya. Mungkin di situlah letak makna sejati dari menjadi baik: bukan tentang siapa yang layak kita temani, tapi tentang siapa yang kita pilih untuk tidak menyerupai.
Kebaikan tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keberanian untuk tetap jernih di tengah kubangan yang keruh. Dan di antara kekeruhan itu, memahami manusia lain barangkali adalah cara paling halus untuk tetap menjadi manusia. Sebab mungkin, kebaikan sejati bukan tentang menjadi cahaya di atas, tetapi tentang tetap jernih meski hidup di dasar.
Komentar
Posting Komentar