Sejujurnya, jika aku menoleh ke belakang, masalahku dari dulu tampaknya hanya satu: kesempatan.
Bukan karena aku menyia-nyiakannya, tetapi karena sering kali aku bahkan tidak pernah memilikinya.
Orang-orang berkata kesempatan tidak datang dua kali.
Bagiku, kalimat itu terdengar mewah.
Sebab dalam hidupku, kesempatan sering kali tidak datang sama sekali.
Aku menunggu, bersiap, menjaga diriku sedalam mungkin, tetapi dunia tetap berlalu tanpa menoleh, seolah aku tidak pernah berdiri di sana.
Dan pada titik tertentu, aku mulai bertanya dengan jujur:
apakah selama ini aku yang tidak cukup terlihat,
atau memang kesempatan tidak pernah berniat datang padaku?
Ada pahit yang sulit dijelaskan ketika kamu tahu dirimu mampu,
namun tidak pernah diberi ruang untuk membuktikannya.
Ada sunyi yang menyesakkan ketika kamu mempersiapkan diri bertahun-tahun,
tetapi pintu yang kamu tunggu bahkan tidak pernah terbuka setengah.
Kadang hidup terasa seperti panggung yang tidak pernah memanggil nomorku.
Aku mendengar nama-nama lain disebut, satu per satu,
sementara aku tetap duduk di barisan belakang,
berharap ada yang akhirnya sadar bahwa aku ada.
Dan pada akhirnya aku harus mengakui satu kenyataan yang tidak nyaman:
kesempatan bukan hanya soal kesiapan,
tetapi soal apakah hidup mengizinkanmu muncul.
Di sanalah aku mulai memahami sesuatu yang pelan tapi pasti.
Selama ini aku bukan gagal.
Aku hanya tidak pernah diberi giliran.
Namun mungkin justru di sinilah titik baliknya.
Jika kesempatan tidak datang padaku,
maka aku harus menjadi orang yang menciptakannya sendiri,
meski itu berarti merobek sunyi yang selama ini kupeluk dengan aman.
Karena menunggu terlalu lama telah membuatku lelah.
Dan aku tidak ingin hidupku habis hanya untuk berharap pada sesuatu
yang mungkin tidak pernah berniat menemuiku.
Komentar
Posting Komentar