Kebaikan itu ada dua, dan keduanya tidak selalu lahir dalam bentuk yang sama.
Ada kebaikan yang disambut banyak orang—yang terlihat, hangat, dan mudah diamini.
Namun ada pula kebaikan yang tersembunyi—dingin, diam, dan baru dipahami setelah luka sembuh.
Dan dalam hidup, kita akan bertemu keduanya.
Kebaikan bukan hal yang mutlak.
Di dunia ini, yang mutlak hanyalah kebenaran, dan kebenaranlah hakim bagi setiap kebaikan.
Sebab hal-hal yang tampak baik tidak selalu benar, dan hal-hal yang benar tidak selalu terlihat baik bagi setiap orang.
Manusia sering terjebak pada apa yang indah di mata, bukan apa yang benar di hati.
Bayangkan seorang ayah yang memberi putrinya sekuntum mawar, dan putranya seonggok pohon jati.
Bagi sebagian orang, itu tampak tidak adil: yang satu mendapat keindahan, yang lain hanya batang kayu kasar.
Namun kebaikan tidak selalu hadir dengan rupa yang sama.
Mawar itu akan layu.
Jati itu akan tumbuh, memberi teduh, dan bertahan lebih lama dari hidup sang ayah sendiri.
Kadang kebaikan terlihat terang.
Kadang ia bersembunyi dan menuntut waktu agar maknanya terbuka.
Begitu pula dengan jalan hidup.
Ada jalan yang tampak sulit, berbatu, dan melelahkan, tetapi justru berujung pada tempat yang layak diperjuangkan.
Ada pula jalan yang tampak nyaman, penuh bunga, namun diam-diam mengantar pada kekecewaan.
Maka jangan buru-buru menilai apa yang sedang kamu lalui.
Kebaikan punya caranya sendiri untuk datang, dan tidak selalu dikenali saat pertama kali terlihat.
Tugas kita bukan menebak mana kebaikan yang benar,
melainkan menjaga hati tetap jernih agar mampu memahami maksud di baliknya.
Sebab terkadang, kebaikan bukan tentang apa yang kamu terima,
melainkan tentang bagaimana kamu belajar mengerti.
Dan mungkin, kebaikan sejati bukan yang paling terang saat datang,
melainkan yang paling lama meninggalkan cahaya.
Komentar
Posting Komentar