Aku semakin yakin, perempuan tidak pernah benar-benar berjalan ringan di dunia ini.
Sepatu mereka mungkin rapi, tetapi langkahnya memikul beban yang tidak terlihat.
Kecemasan yang dipoles bedak.
Luka yang dirapikan sebelum keluar rumah.
Harapan yang dipaksa tetap hangat meski hari tidak selalu berpihak.
Pria sering dipuji dari otot dan kulit yang menggelap oleh matahari.
Tapi perempuan bekerja keras di tempat yang jarang dilihat dunia.
Mereka bangun lebih awal, bukan hanya untuk hidup,
tetapi untuk menyiapkan wajah agar hidup terlihat baik-baik saja.
Ada perempuan yang pulang larut,
bukan demi gemerlap ambisi,
melainkan karena hidup tidak memberi mereka pilihan lain.
Kemandirian sering terasa seperti beban yang harus dirayakan.
Dan ketika riasan dilepas,
ada lelah yang luruh bersama air di wastafel.
Dulu aku pikir aku menyukai perempuan cantik.
Ternyata kecantikan paling jujur tinggal di balik mata yang letih namun tetap terjaga,
di tangan yang gemetar tapi tetap bekerja,
di sikap yang memilih tegar padahal dunia tidak pernah benar-benar lembut.
Karena itu, pantang bagiku menyakiti perempuan.
Dunia sudah lebih dulu melukai mereka.
Sementara aku masih bisa duduk, minum kopi buatan ibu,
merasa kuat meski belum benar-benar melawan apa pun.
Ada perempuan yang berangkat sebelum matahari siap,
menantang hidup dengan keberanian sunyi.
Mereka tidak meminta dipuja.
Mereka hanya meminta untuk tidak diseret ke perang batin
yang menyamar sebagai cinta.
Dulu aku kira cinta adalah memiliki.
Kini aku tahu, cinta juga berarti menyingkir pelan,
memberi ruang agar perempuan tetap menjadi dirinya.
Meski letih.
Meski rapuh.
Tanpa harus hilang demi membuktikan sesuatu kepada dunia.
Kadang aku memilih pergi.
Bukan karena tidak ingin tinggal,
tetapi karena aku tahu menghadapi seseorang sepertiku bisa melelahkan.
Ada lelaki yang datang membawa teduh,
ada pula yang tanpa niat buruk membawa beban bernama ragu dan tanya.
Aku pernah percaya bertahan selalu berarti mencinta.
Sekarang aku tahu, pergi juga bisa menjadi bentuk sayang yang lembut.
Perempuan yang sudah cukup lelah menghadapi dunia
tidak pantas diberi tugas tambahan
menghadapi labirin kepalaku.
Mereka yang berkata “tidak” padaku jarang kejam.
Mereka hanya lelah.
Dan aku belajar tidak menjadikan kelelahan itu
sebagai penolakan terhadap diriku.
Tidak semua diam adalah kehilangan.
Kadang itu cara paling manusiawi
untuk menjaga seseorang tetap utuh.
Perempuan tidak selalu memilih menjadi kuat.
Mereka hanya tidak diberi pilihan lain.
Jika suatu hari aku bertemu perempuan yang letih
namun tetap mengizinkanku mendekat,
aku ingin hadir seperti seseorang
yang menghampiri orang yang baru tertidur setelah menangis:
pelan, hati-hati,
bukan untuk membangunkan,
melainkan memastikan ia tidak menghadapi kerasnya dunia sendirian.
Sampai saat itu, aku berjalan sendiri.
Bukan karena aku tidak mampu mencinta,
tetapi karena ketika aku menetap nanti,
aku ingin kehadiranku menjadi tempat pulang yang tenang,
bukan beban lain yang harus ditanggung.
Komentar
Posting Komentar