Langsung ke konten utama

Sejatinya Hidup Tidak Menarik, Tapi Mendorong

Apa hidupku menarik?
Tentu saja tidak.
Sama seperti hidupmu, dan hidup kebanyakan manusia.

Hidup kita tidak ditulis untuk menjadi legenda.
Ia lebih sering menjadi ironi yang pelan,
komedi yang tidak lucu,
tapi juga tidak pahit.

Kita tidak tertawa karenanya.
Kita hanya mengangguk, menerima, lalu berjalan lagi.

Hidup pada dasarnya memang tidak menarik.
Ia berputar, berulang, membosankan, kadang menyesakkan.
Namun bukankah itu justru bentuk paling asli dari hidup?

Kehampaan kecil.
Rutinitas yang tidak heroik.
Hari-hari tanpa bab klimaks.

Bukan kegagalan,
melainkan keberlanjutan.

Aku dulu menolak takdir.
Merasa diseret tanpa pilihan,
didorong oleh masa lalu,
digertak oleh masa depan,
digores kasar oleh masa kini.

Itu kebodohan yang sama yang dialami banyak manusia:
memberontak pada arah yang tidak kita pilih,
lalu menyalahkan hidup
karena tak sejalan dengan bayangan kita sendiri.

Perlahan aku mengerti,
takdir bukan monster.
Ia hanya peta yang tidak selalu sesuai keinginan.

Ia tidak kejam.
Ia jujur.

Manusia yang merasa terpaksa,
bukan takdir yang memaksa.
Kadang jalan yang kita inginkan terlalu sempit
dibanding jalan yang disiapkan.
Kadang kita tersesat
hanya karena keras kepala.

Dan tentang menaklukkan dunia—
betapa gagah terdengar,
betapa kosong rasanya saat kita kalah.

Dunia tidak menunggu untuk ditaklukkan.
Ia tidak butuh pemenang.
Ia hanya menuntut pemahaman.

Damai lebih tinggi daripada kemenangan.
Siapa yang benar-benar menaklukkan?
Yang bergemuruh,
atau yang tenang?

Kehidupan sederhana adalah kemenangan
yang tidak butuh tepuk tangan.
Hidup yang biasa bukan hidup yang kecil.
Ia hanya tidak sibuk membuktikan diri.

Riuh bukan selalu tanda hidup.
Kadang ia hanya tanda gelisah.

Ada keagungan pada hidup
yang berjalan tanpa panggung,
tanpa perlu menjadi cerita besar.

Dan inilah kebenaran
yang sering kita lupakan:
hidup tidak harus menarik.

Hidup hanya perlu mendorong.

Dorongan kecil itu—
bangun,
melanjutkan,
menata napas,
menerima sedikit,
memperbaiki sedikit.

Bukan letupan besar.
Bukan bab megah.
Bukan kilau.

Kita hidup bukan untuk menjadi kisah paling seru,
melainkan untuk menjadi manusia
yang tetap berjalan,
meski tanpa tepuk tangan.

Hidup tidak perlu memukau
agar layak dijalani.
Ia hanya perlu bergerak.

Dan dalam gerak yang kecil itu,
kita menemukan sesuatu
yang lebih jujur daripada kemenangan:
keteguhan.

Ketika hidup tidak menarik,
namun tetap mendorong kita maju,
di situlah hidup benar-benar terasa.

Tip Jar: TrakteerBuy Me a Coffee

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Tidak Sempurna

Pertama-tama, aku meminta maaf kepada diriku sendiri. Hari ini, aku memilih jujur, bukan kepada dunia, tapi kepada diriku. Menjadi manusia yang penuh ketakutan bukan pilihanku. Namun aku hidup dengan rasa haus akan validasi. Aku kerap mengambil keputusan hanya agar terlihat baik di mata orang lain, bahkan di mataku sendiri. Ironisnya, dari sudut mana pun, aku selalu merasa tidak cukup. Hari-hariku dihabiskan untuk menilai, mengkritik, lalu menghukum diri sendiri. Blog ini menjadi saksi bisu. Entah berapa ribu kata yang telah kuhapus. Polanya sederhana, menekan tombol "reset". Alasannya pun sama, aku merasa tidak cukup baik. Aku menjadi hakim bagi diriku sendiri, dan hukumannya selalu sama, menghapus jejak lalu memulai lagi. Ketakutan itu melahirkan perfeksionisme yang menyesakkan. Aku mengenali gejalanya, merasakannya, dan akhirnya memahami bahwa ini kebiasaan buruk yang harus dihentikan. Tidak semua hal harus sempurna. Kekurangan tidak membunuh. Celah kecil dalam hidup bukan...

Alasan Jatuh Cinta

Apa alasan seseorang jatuh cinta? Jawabannya banyak, namun tetap terasa rumit. Bagiku, menjelaskan bagaimana aku jatuh cinta sama saja dengan membongkar kebodohan yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Aku tidak pernah mencintai karena logika. Aku hanya jatuh begitu saja. Seolah tidak pernah belajar dari luka yang datang sebelumnya. Kadang aku berpikir, bahkan kata “bodoh” pun terlalu baik untuk mendeskripsikanku. Setiap kali jatuh, yang kutemukan bukan jawaban. Hanya kekosongan, kebingungan, pembenaran yang dipaksakan, dan harapan yang terlalu besar untuk seseorang yang bahkan belum tahu siapa aku. Aku bukan orang yang sulit jatuh cinta. Namun aku juga bukan orang yang mudah mencintai. Perasaanku sudah lama berantakan, mungkin itu sebabnya semuanya terasa acak, tak terstruktur, dan sering kali sia-sia. Jujur saja, aku merasa tidak pernah ada yang benar-benar mencintaiku. Tidak ada yang dengan sukarela terjun ke kebodohan yang sama. Terjebak, lalu memilih tetap tinggal bersamaku di dala...

Aku Tidak Bisa Hidup Dengan Hanya Melakukan Hal Yang Aku Sukai

Aku tidak bisa hidup hanya dengan melakukan hal yang aku sukai. Kalimat itu sederhana, tetapi di baliknya ada letih yang tidak pernah berteriak. Ada penerimaan yang tumbuh pelan, seperti luka yang perlahan berubah menjadi kulit baru. Ada masa ketika aku percaya hidup adalah soal mengejar kebahagiaan pribadi. Namun seiring waktu, aku mulai memahami bahwa hidup selalu bersinggungan dengan orang lain. Sedikit demi sedikit, bagian dari diri yang dulu kujaga rapat ikut larut dalam harapan mereka. Aneh memang. Manusia sering meninggalkan apa yang ia sukai demi orang-orang yang ia cintai. Kita bekerja, menelan bosan, bangun sebelum matahari. Berlari di antara waktu dan lelah. Bukan semata untuk diri sendiri, tetapi agar seseorang di rumah bisa tertawa tanpa beban. Dan entah bagaimana, kita menyebut itu cinta. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah manusia memang diciptakan untuk seperti ini? Untuk menekan keinginan, mengorbankan sebagian diri, dan menyebutnya kebajikan? Mungkin memang ...

Yang Tenang Tidak Laku Di Dunia Yang Bising

Ada masa dalam hidup ketika aku percaya bahwa kebaikan akan membawa seseorang pada cinta, atau setidaknya pada penerimaan. Ternyata, aku salah. Dunia tidak berputar untuk orang baik. Dunia berputar untuk mereka yang pandai memainkan peran. Mereka yang tahu kapan harus tersenyum, kapan pergi tanpa rasa bersalah, dan kapan berpura-pura peduli lalu menghilang seolah tak pernah terjadi apa-apa. Aku melihatnya sendiri. Yang menipu dipeluk. Yang kasar dirindukan. Yang bersandiwara justru dijaga. Sementara yang tulus perlahan menghilang di tengah tawa orang lain. Bukan dibenci, hanya tidak dianggap. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada kebencian. Karena kebencian setidaknya mengakui keberadaanmu. Diabaikan membuatmu seolah tidak pernah ada. Orang baik terlalu mudah dimaklumi, terlalu cepat memaafkan, terlalu mengerti. Akhirnya, tidak ada yang benar-benar merasa perlu menjaga mereka. Dunia tahu orang baik tidak akan membalas. Tidak akan membiarkan bara menjadi api. Mereka sibuk memadamkan, ...

Papan Bunga, Juru Bicara Kelas Sosial

Setiap pagi, di depan gedung tempatku bekerja, sering kali papan bunga baru berdiri tegak. Warnanya mencolok, hurufnya besar, dan setiap pita seolah berteriak: “Lihat, aku bagian dari perayaan ini.” Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai hiasan. Lambang ucapan selamat atau duka. Namun semakin lama, aku sadar papan bunga bukan sekadar papan bunga. Di dalamnya ada simbolisme yang lebih dari sekadar bunga dan pita. Ia adalah pengukuran kelas yang aneh, tapi nyata. Semakin besar, semakin ramai, semakin panjang deretnya di lobi, semakin tinggi pula posisi yang dirayakan. Lucunya, papan bunga membawa pesan sekaligus perbandingan diam-diam. Siapa yang mampu mengirim. Siapa yang cukup penting untuk menerima. Bahkan dalam kematian pun, hierarki itu tetap berjalan. Ia hanya berganti wujud, warna, ukuran, dan kalimat. Aku sering berhenti di depan deretan papan itu. Membaca nama pengirim—perusahaan, pejabat, atau mungkin hanya seseorang yang ingin terlihat. Di antara bunga yang tertata rapi, aku me...

Kamu Harus Jadi Orang Pertama Yang Menilai Dirimu Berharga

Pada akhirnya, aku menyadari satu hal. Aku sudah melakukan apa yang mampu aku lakukan. Menjadi seseorang yang bernilai ternyata tidak selalu bergantung pada seberapa banyak orang memahami nilai itu. Setiap orang memakai kacamatanya sendiri. Nilai sering kali diukur dari ketajaman seseorang membaca orang lain, bahkan ketika nilainya tersembunyi. Tidak dihargai bukan berarti tidak memiliki harga. Nilai hanya tampak bagi mereka yang tahu cara melihat. Emas adalah batu asing bagi mata yang tidak mengenal kilau. Permata hanya benda mengilap bagi hati yang dangkal. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Pernahkah kita benar-benar menilai diri dengan jujur? Atau kita hanya pandai mencaci diri ketika cermin memantulkan bayangan yang tidak sesuai ekspektasi? Kita sering terlalu keras pada diri sendiri, terlalu pelit memberi pujian, padahal kita tahu betul bahwa bertahan sejauh ini saja sudah merupakan pencapaian. Bukan karena kita rendah, melainkan karena kita lupa cara memandang diri dengan je...

Bagaimanapun, Wewangian Tercipta Dari Keringat Seseorang

Bekerja di tempat yang mewah membuatku sadar bahwa keindahan sering lahir dari tangan-tangan yang tidak pernah diajak menikmatinya. Bukan karena dunia kejam, tetapi karena begitulah cara dunia berjalan. Yang tampak indah berdiri di atas kerja sunyi yang jarang terlihat. Setiap pagi, sebelum ruangan dipenuhi suara manusia, seseorang datang lebih dulu. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, menata bunga, menggosok lantai hingga mengilap. Sidik jarinya seolah hilang, bercampur dengan marmer yang nanti diinjak sepatu-sepatu seharga lebih dari sebulan gajinya. Ia tidak banyak bicara. Baginya, lantai yang bersih sudah cukup menjadi tanda bahwa hari itu berjalan sebagaimana mestinya. Setiap kilau lantai, setiap bunga segar, dan setiap tawa VIP lahir dari tangan seseorang yang tidak pernah diundang duduk di ruangan itu. Mereka menjaga agar dunia percaya bahwa tempat ini memang seindah itu. Keindahan yang tampak alami, padahal dibangun dari peluh, diam, dan lelah yang tidak pernah disorot. Saat ru...