Ada saat dalam hidup ketika seseorang yang terlalu diam akhirnya mengerti sesuatu yang sederhana namun menyakitkan: bahwa kualitas yang tidak terlihat sama saja dengan tidak ada. Dunia tidak punya waktu untuk membongkar kedalaman seseorang satu per satu. Bahkan yang paling layak sekalipun bisa lolos dari pandangan hanya karena ia tidak menampakkan diri. Dan itu pahit, sebab selama ini aku percaya bahwa kedalaman akan menemukan jalannya sendiri untuk terlihat. Nyatanya, tidak.
Aku pernah berpikir bahwa menjadi baik itu cukup. Bahwa ketenangan akan dibaca sebagai kematangan, dan kedalaman akan dikenali oleh mereka yang peka. Tapi hidup tidak berjalan dengan logika seperti itu. Di antara orang-orang yang berteriak, seseorang yang hanya berdiri tenang bukan terlihat bijak, melainkan menghilang. Perlahan aku menyadari bahwa itulah caraku hidup selama ini: menghilang sedikit demi sedikit, sampai bahkan aku sendiri lupa bagaimana rasanya benar-benar hadir.
Aku terlalu sering memilih diam. Terlalu hati-hati agar tidak menimbulkan riak di hidup orang lain. Terlalu takut menjadi gemuruh, terlalu lama menyelami perasaanku sendiri tanpa pernah memberi tanda pada permukaan bahwa aku ada. Sementara dunia bergerak cepat, sibuk, dan tidak menunggu siapa pun yang lambat mengungkapkan dirinya.
Pada akhirnya aku sadar, seseorang memang mesti “menjual” dirinya. Bukan sebagai produk, bukan pula sebagai pameran, tetapi sebagai kehadiran. Agar tidak lenyap. Agar tidak terhapus. Ada nilai dalam diriku dan aku tahu itu, tetapi nilai yang disembunyikan bukanlah kebijaksanaan. Itu hanyalah cara halus untuk menghancurkan diri sendiri tanpa suara.
Dan mungkin pada akhirnya aku hanya tidak ingin lenyap begitu saja. Menjadi nama yang dilewati angin. Menjadi suara yang tenggelam di antara keramaian yang selalu lebih lantang. Ada nilai di dalam diriku yang tidak seharusnya ikut hilang hanya karena aku terlalu terbiasa diam. Hidup bergerak cepat, dunia sibuk, dan manusia hanya melihat apa yang muncul di permukaan. Jika aku tetap mengendap di dasar, maka bukan mereka yang salah karena tidak menemukan, melainkan aku yang tidak pernah muncul.
Barangkali inilah waktunya. Bukan untuk menjadi ramai, bukan untuk mengejar sorotan, tetapi untuk benar-benar ada. Untuk memberi diriku kesempatan dilihat, meski sebentar, sebelum dunia kembali berlari melewatiku. Untuk muncul ke permukaan sekali saja, bukan agar aku diingat, tetapi agar aku tidak hilang dari hidupku sendiri.
Komentar
Posting Komentar